Oleh: Arif Nur Setiawan
Depok, 2 Mei 2011
Darahku tercecer di seluruh tanah ini
Tanah tempat pejuang dilahirkan,
dari serambi Makkah hingga tanah Cendrawasih
berjuta suku, agama, dan budaya
Tanah yang subur, sungai yang jernih,
binatang yang selalu riang,
dan pohon yang rindang
Yang dulu sempat jadi rebutan orang
Perjuangan kala itu,
ketika Belanda memporak-porandakan negeri ini,
menghabisi nyawa-nyawa orang Jawa,
merampok harta kami, naskah-naskah dari perpustakaan kami
dan meludahi harga diri kami
Tak hanya Belanda,
Portugis pun merampas kayu manis,
Spanyol membuat kedamaian negara ini ambrol,
Si Jepang,
yang membuat perempuan-perempuan pribumi
bernasip malang
dan Inggris, menambah keras jeritan tangis
Ketika dialogku dengan darah-darah juang,
“Bagaimana kabarmu kini, Indonesia?”, kataku dengan lirih
“Kami menangis anak muda”, jawabnya dengan berlinang
air mata
“Menangis karena apa?”, kembali ku tanyakan,
mereka tak menjawabnya,
dan seketika hilang dari pandangan mata
Ku tanyakan di dalam otak
dan tak ada yang menjawab juga,
Aku kembali berfilsafat untuk menjawab pertanyaanku
Ku tanya pada arca-arca peninggalan sejarah itu
Tiba-tiba…
“Negerimu ini belum merdeka, Bung”, kata otakku
Darah-darah juang masih tetap mengalir, dan kini
semakin deras karena kiriman air bah dari China,
Arab, Jerman, Korea,
Perancis, Rusia,
dan negara-negara di atas sana.